Senin, 24 November 2008

KEBEBASAN WARTAWAN

Biasanya yang populer untuk dibicarakan adalah mengenai kebebasan pers. Ini menyangkut posisi institusional pers dalam masyarakat. Kalau saat ini dengan bersengaja dibahas kebebasan wartawan, pemikirannya muncul dari situasi yang berlangsung dalam dunia Pers Nasional kita sekarang. Kemajuan fisik-materil (padat modal dan teknologi) dalam dunia pers membawa konsekuensi terhadap pola-pola kerja yang semakin ketat diatur oleh standar manajemen. Maka modal dan teknologi tinggi yang berada dalam latar manajemen ini lebih jauh telah ikut mempengaruhi kerja profesional wartawan. Wartawan yang semula menjadi primadona dalam pers, perlu menyadari bahwa kaumnya sudah menjadi salah satu komponen dalam gerak manajemen. Wartawan dengan jurnalisme yang dijalankannya, sebagai salah satu komponen, sama pentingnya dengan komponen lainnya.
     
Kegiatan dalam media pers, dengan menggunakan bahasa manajemen, dirumuskan dalam sebutan pra-produksi, produksi, dan pemasaran. Sebutan ini berkonotasi fisik-materil dan berkonteks ekonomi. Sedang kerja jurnalisme sejatinya adalah proses intelektual. Kegiatan jurnalisme pada dasarnya adalah memilih realitas sosial untuk dijadikan informasi pers, untuk kemudian informasi ditransfer ke alam pikiran khalayak luas. Proses mengubah realitas sosial
menjadi informasi itu sendiri adalah kerja intelektual, begitu pula penyerapan informasi yang dilakukan oleh khalayak adalah kerja intelektual.
Kerja jurnalisme yang berada dalam situasi industrial tentulah akan menyesuaikan diri dengan manajemen. Tetapi selain diformat oleh manajemen industrial, kerja wartawan juga dipengaruhi oleh etos profesional jurnalismenya masing-masing. Ethos profesional ini menuntut adanya kebebasan dalam bekerja. Profesionalisme ditandai oleh kemandirian, sementara kemandirian itu harus ditempatkan dalam proses manajemen. Inilah masalah yang perlu diperhatikan. Jadi bukan sekadar kebebasan wartawan, sebab kebebasan hanya bermakna bagi profesionalisme. Masalahnya menjadi dua hal, bagaimana memenuhi standar profesional, dan bagaimana menempatkannya di dalam manajemen pers. Masalah pertama ini masih tetap menjadi keprihatinan bersama pengelola media pers. Sedang masalah kedua baru menjadi signifikan jika masalah pertama sudah terjawab. Kalau tidak, pembicaraan tentang posisi wartawan dalam manajemen hanya membuang waktu.

Kalau sekarang pembicaraan difokuskan kepada kebebasan wartawan, tak lain karena kebebasan sering dianggap sebagai kata kunci dalam profesi jurnalisme. Sementara etos profesi merupakan sisi lainnya lagi, sebagai nilai-nilai yang menjadi acuan dan motivasi bertindak dalam kerja profesional. Karenanya kebebasan macam apa yang dipunyai oleh wartawan, dapat dilihat melalui etos macam apa yang mendasari kerja profesinya. Dalam kaitan inilah akan dilihat keberadaan wartawan dalam Pers Nasional kita yang semakin nyata bersifat industrial.







Sosok Pers Nasional sekarang dan prospeknya dapat dilihat melalui pandangan kesejarahan, yaitu sebagai lanjutan dari Pers Nasional pada masa kolonial. Jika setting kolonial dipakai untuk membicarakan kehidupan pers, setidaknya dapat dibedakan 3 tipe, yaitu pers kolonial sebagai pendukung establisme politik, pers komersial yang umumnya dikelola oleh kelompok Cina, dan pers perjuangan yang diterbitkan sebagai bagian Pergerakan Nasional. Pers perjuangan inilah yang disebut sebagai Pers Nasional. Ethos kehadirannya dapat dibedakan secara tajam dengan kedua tipe pers lainnya. Pada pers perjuangan, dengan sendirinya jurnalisme menjadi primadona. Media dimulai dengan sejumlah personel jurnalistik yang kebanyakan mengusahakan sendiri biaya penerbitan. Posisi semacam ini tidak akan ditemukan lagi pada pers sekarang.

Dengan demikian saat ini tidak mungkin membuat taksanomi tipe pers atas dasar perbedaan etos kehadirannya. Semua pers yang terbit di Indonesia disebut Pers Nasional, baik pers yang lingkup informasi dan jaringan distribusinya nasional maupun lokal, ataupun isinya sekadar paha dan dada perempuan dan kode atau ramalan nomor buntut. Pada saat calon pengelola media pers mengurus SIUPP, seluruh prosedur yang dijalankan oleh pemerintah tentulah untuk menyaring agar hanya penerbitan pers yang bertolak dari etos Pancasila diberi lisensi terbit yang sangat berharga itu. Pastilah lewat SIUPP, pemerintah berniat membangun pers nasional yang sehat dan bertanggung-jawab sosial, bukan sekadar pers yang menjadikan paha dan dada wanita dan impian ramalan buntut sebagai komoditi.

Dalam perkembangannya, Pers Nasional bergerak ke arah penerbitan yang bersifat industrial. Ini ditandai dengan sifatnya yang padat modal dan kemajuan perangkat keras serta pola manajemen yang semakin canggih. Di tambah lagi dengan sifat pengusahaan yang padat modal, sosok pers sekarang sangat berbeda dibanding dengan Pers Nasional pada masa Pergerakan Nasional. Karenanya mungkin kurang tepat men"tracee" menelusuri jejak pers sekarang dengan Pers Nasional tempo "doeloe" di jaman pergerakan.

Pers Nasional masa depan, yang akan mengisi era Pembangunan Nasional tahap ke dua, boleh saja dipertalikan dengan etos pers perjuangan. Tetapi mungkin perlu disadari bahwa etos yang menggerakkan jurnalisme saat itu sehingga memunculkan format pers perjuangan, kalau mau dijalankan sekarang, boleh jadi akan melahirkan format yang sangat berbeda. Etos bisa dirumuskan sebagai idealisasi kehidupan, dan idealisasi bisa berbeda dengan dinamika realitas empiris. Banyak variabel yang perlu diperhitungkan dalam proses idealisasi ke realitas empiris.

Pertama-tama yang perlu diingat adalah motivasi kemunculan pers perjuangan, yaitu ide politik. Dengan demikian pers merupakan bagian institusi politik. Pers adalah bagian organik dari suatu dinamika sosial yang menjadi institusi bersifat opponent di dalam struktur sosial saat itu. Dengan motivasi politik yang bersifat opponent, sudah barang tentu posisi dari pengelola dalam membangun etos jurnalismenya akan bersifat khas. Dengan menempatkan pers sebagai alat politik dengan sendirinya membawa konsekuensi terhadap keberadaan para jurnalisnya, yaitu dengan melihatnya sebagai aktivis politik, atau sebaliknya, aktivis politik menjalankan kegiatan jurnalistik. Artinya jurnalis dan aktivis politik merupakan 2 sisi dari mata uang logam. Pers partisan menjadikan wartawan sebagai pejuang, sehingga fasilitas kehidupan yang terbatas pun dianggap wajar. Dengan etos pers perjuangan itu, kendati sarjana misalnya, tetapi dengan posisi sebagai pejuang, kehidupan materilnya berbeda dengan yang bekerja sebagai ambtenaar pemerintah Hindia Belanda dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Apakah etos semacam itu masih mau dihidup-hidupkan sekarang?

Sabtu, 22 November 2008